/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Tuesday, November 29, 2011

KAUM MERAH DARI BAWAH TANAH

Kaum Merah dari Bawah Tanah

SUATU siang April 1935. Siti Larang Djojopanatas, aktivis perempuan progresif di Surabaya, diminta menemui seorang tamu rahasia di Hotel Simpang, hotel terkenal di kota itu. Penghubungnya bernama Pamudji, pemimpin koran Indonesia Berdjoeang.

Siti Larang bergegas berangkat. Ketika itu, baru setahun berlalu setelah Siti kehilangan suaminya, Sosrokardono. Sosro adalah tokoh PKI senior yang dipenjara pemerintah kolonial Belanda pada 1919 dengan tuduhan menggerakkan pemberontakan Sarekat Islam di Afdeling-B di sekitar Garut, Jawa Barat. Dua tokoh PKI, Musso dan Alimin, ketika itu juga dibui dengan dakwaan yang sama.

Tak disangka-sangka, tamu rahasia yang menunggu Siti adalah Musso. Pemimpin PKI yang lari ke Moskow, Rusia, pascapemberontakan 1926 itu ternyata diam-diam sudah menyusup masuk ke Indonesia.

Siti Larang adalah salah satu orang pertama yang dicari Musso sekembalinya ke Tanah Air. Selain dekat dengan suaminya, Sosrokardono, Musso sudah mengenal Siti sejak bersama-sama menumpang hidup di rumah Ketua Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto.

"Saya perlu dicarikan rumah kontrakan untuk beberapa bulan," kata Musso, begitu mereka bersua, seperti dikutip dari catatan obituari saat Siti meninggal September 1998. Dalam pertemuan itu, Musso banyak bercerita soal ancaman kekuatan fasisme di Eropa dan Asia. Perkembangan baru ini tentu menuntut strategi baru kaum komunis.

Di Moskow, angin perubahan memang tengah berembus. Pada awal 1935, Georgi Dimitrov terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Komunis Internasional. Dialah yang berperan mengubah taktik perjuangan kaum komunis. Dari semula berkeras memerangi imperialis, mereka kini mulai mengulurkan tangan kepada golongan kapitalis dan borjuis nasional.

Tak hanya itu. Dimitrov juga mengeluarkan instruksi agar anggota-anggota Komintern di wilayah jajahan mulai bekerja sama dengan penguasa kolonialnya untuk menghambat gerak maju kaum fasis. Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, menyebut Musso sebagai agen Komintern yang mendapat mandat untuk menjelaskan garis baru itu di Indonesia.

Pada pertemuannya dengan Siti Larang, Musso mengaku akan segera "mendirikan front demokrasi antifasis di sejumlah kota". Tampak jelas Musso ingin memanfaatkan perubahan taktik perlawanan Komintern untuk membangkitkan kembali PKI di Indonesia.

Langkah pertama Musso ketika itu adalah mempublikasikan Garis Dimitrov di sejumlah surat kabar lokal. Koran Indonesia Berdjoeang, yang dipimpin Pamudji, termasuk yang getol memuat artikel Musso. "Dia menulis tiga artikel soal ini," kata Sumaun Oetomo, Ketua Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru.

Karena itulah Pamudji dipercaya Musso menjadi salah satu pemimpin Komite Sentral PKI baru. Musso juga merekrut Azis, Sukajat, dan Djoko Soedjono. Mereka berlima menjadi ujung tombak upaya aktivis komunis mengkonsolidasikan kembali kekuatannya. "Fokus Musso ketika itu adalah Surabaya dan Solo, Jawa Tengah," kata Hersri Setiawan, mantan Ketua Lekra Jawa Tengah.

Selama enam bulan-sumber lain menyebut satu tahun-di Indonesia, Musso aktif berkeliling dan memberikan ceramah. "Tapi semuanya dilakukan secara rahasia," kata Sumaun. Kuatnya jejaring dinas intelijen Belanda, Politieke Inlichtingen Dienst, membuat gerak-gerik kaum kiri di Tanah Air saat itu amat sempit. Tak sedikit aktivis komunis yang ditangkap sebelum sempat melakukan apa pun. Pamudji bahkan dihukum mati.

Dalam kondisi terjepit itu, Musso berhasil menarik Amir Sjarifoeddin dan Tan Ling Djie masuk PKI. "Musso dikenalkan pada Amir melalui anggota Perhimpunan Indonesia yang kiri," kata Sumaun. Lapis pertama kader Musso di Surabaya ini juga berhasil melantik puluhan pemuda, termasuk Sudisman dan Soemarsono, menjadi kader merah.

Mereka inilah yang kemudian berperan besar dalam aksi-aksi sabotase anti Jepang pada periode 1942-1945. Namun, sesuai dengan instruksi Musso saat itu, semua aksi mereka dilakukan tanpa bendera palu-arit. "Itulah kesalahan strategi besar PKI: terlambat muncul dari bawah tanah," kata pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemarsono. cahya-ilmu.blogspot.com

GURU SANG PROKLAMATOR

Guru Politik Sang Proklamator

RUMAH bercat putih di Jalan Peneleh VII? Nomor 29?dan 31, Surabaya, itu memiliki model paling lawas dibandingkan dengan para tetangga. Sejak 1870, arsitektur rumah tersebut tak pernah diubah. Warga sekitar mengenal tempat tinggal peninggalan Haji Oemar Said Tjokroaminoto itu sebagai rumah kos Sukarno, sang proklamator.

Rumah kos sekaligus sebuah tempat kursus politik Sukarno muda. "Orang di sini tahu hanya Bung Karno yang pernah tinggal di rumah itu. Kalau yang lain-lain kami tidak pernah mendapat cerita dari orang-orang tua kami," kata Mariyun, salah seorang warga asli di gang itu. Namun Bung Karno hanya satu di antara sederet nama penting penghuni rumah tersebut: Musso, Alimin, Semaoen, dan Kartosoewirjo.

Bekerja sama dengan sang istri, Suharsikin, Tjokroaminoto-ketika itu menjabat Wakil Ketua Sarekat Islam cabang Surabaya-menampung sekitar 30 pemuda Indonesia dengan biaya ringan. Sukarno bersekolah di Hogere Burger School?(HBS) Regenstraat, Surabaya. HBS setingkat sekolah lanjutan tingkat menengah dengan masa pendidikan lima tahun. Sukarno mulai mondok sejak umur 14 tahun, sepanjang 1915-1920.

Musso memiliki tempat khusus di hati Sukarno. Mereka bertukar pendapat di mana saja, kapan saja. Sembari makan bersama, misalnya, Musso berbagi pikiran tentang penjajahan Belanda yang membuat, "Kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa," kata Sukarno dalam Sukarno an Autobiography karya Cindy Adams.

Saat itu, menurut Ketua Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru, Sumaun?Oetomo, 87 tahun, Musso telah menyelesaikan pendidikan di Batavia dan telah menjadi aktivis di Sarekat Islam dan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Musso aktif dalam gerakan yang sama bersama Alimin, Semaoen, dan Darsono. Musso lebih tua empat tahun dibanding Sukarno, yang lahir pada 1901.

Berdasarkan penelusuran literatur, tak ada penjelasan berapa lama Musso tinggal di rumah Tjokroaminoto.? Yang jelas, pada 1919, Musso tak menghuni rumah itu lagi. Menurut Ruth McVey dalam The Rise of Indonesian Communism, pada tahun itu Musso dan Alimin terlibat kasus Sarekat Islam Afdeling-B di Jawa Barat dan dijebloskan ke penjara. Keluar dari penjara itulah, pada 1920 Musso menjadi anggota Partai Komunis Indonesia-penerus warisan ISDV.

Berpisah selama hampir tiga dasawarsa, Sukarno dan Musso bertemu lagi pada 13 Agustus 1948 pukul 10 pagi di Istana Negara. Musso menyamar sebagai Soeparto, sekretaris Soeripno-dubes RI untuk Cekoslovakia di masa Amir Sjarifoeddin. Dalam bukunya Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Soe Hok Gie melukiskan betapa mengharukan pertemuan itu. "Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Sukarno. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata. Hanya pandangan mata dan roman muka mereka menggambarkan kegembiraan itu," demikian kesaksian Soepeno, pemimpin redaksi surat kabar Revolusioner, yang hadir dalam pertemuan itu, seperti dikutip Soe Hok Gie.

Dengan bangga Bung Karno bercerita kepada Soeripno tentang masa lalunya dengan Musso. "Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia jago pencak," kata Sukarno. Sukarno juga bercerita tentang hobi Musso bermain musik dan bila berpidato akan menyingsingkan lengan baju.

Sukarno pun menyindir soal perkembangan politik komunis internasional. Pengetahuan Sukarno tentang komunis sempat membuat Muso ternganga. Bung Karno menjawab keheranan Musso dengan pengakuannya, "Saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak Tjokroaminoto, dan Pak Musso!"

Sukarno menunjukkan kekiriannya dengan memperlihatkan buku karangannya, Sarinah. Dalam buku itu, Sukarno mengutip ucapan-ucapan Lenin dan Stalin. Buku itu diberikan kepada Musso sebagai tanda mata.

Tiga puluh tujuh hari setelah pertemuan itu, pecah Peristiwa Madiun. Keduanya saling memaki. Meski begitu, rasa hormat Sukarno kepada Musso sebagai guru tak luntur. Dalam wawancara dengan Cindy Adams, Sukarno berkata, "Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita harus dihormati lebih dari orang tua." cahya-ilmu.blogspot.com